Cerita Anak Hujan

“Bu, payung?”

“Pira dek?”

“Limangatus ya ora papa.”

“Bu, payung?”

“Berapa dek?”

“Lima ratus saja gak apa-apa.”

Dengan hati riang Agus berjalan mengiringi langkah wanita setengah baya mengantarnya dan berhenti didepan Avanza hitam milik wanita itu.

“Tek wei rongewu ya, soale wis ngrewangi nggawakna barang-barang.”

(Saya kasih dua ribu ya, soalnya sudah membantu membawakan barang-barang).

Terima kasih yang tulus terlontar dari bibir anak berusia sembilan tahun itu. Wajahnya berbinar mendapatkan satu lembar uang dua ribu rupiah. Kakinya berlari kecil kembali menuju lobi toko, berharap ia akan mendapatkan pelanggan lagi. Hujan bercampur angin yang membasahi sekujur tubuh kecil nan padatnya itu tak ia hiraukan, baginya hujan adalah hidupnya.

Dari jauh saya memperhatikan setiap ucapan-ucapan kalimat demi kalimat rayuan kepada pengunjung toko. Saya heran sekaligus kagum. Saya bekerja didunia marketing pun belum pernah menemukan kegigihan seperti anak itu. Rayuan-rayuan maut yang meluluhkan hati pengunjung toko yang terdampar di lobi dan bingung untuk berlari menuju kendaraan mereka.

“Bu, payung murah daripada ibune teles klebes. Ora larang ikih.”

(Bu, payung murah daripada ibu basah kuyup. Kan gak mahal juga).

Dengan senyum penuh keyakinan Agus menawarkan jasa payung. Pengunjung yang berniat menunggu sampai hujan reda akhirnya termakan rayuan si Agus. Rasa melas yang terpampang di wajah Agus bukanlah hal sengaja yang dibuat-buat olehnya agar pengunjung mau memberinya kesempatan memperoleh sedikit receh. Wajahnya memang begitu adanya. Ketika hujan mulai reda dan pengunjung sudah tidak enggan berlari ke parkiran, saya mempunyai kesempatan bercengkrama dengan Agus. Semangatnya yang membuat saya ingin mengenal sosok lelaki kecil yang bertubuh tebal itu.

“Olih akeh ya dek? Seneng bisa jajan,” celetuk saya seraya mendekati Agus.

(Dapat banyak ya dek? Seneng nih bisa jajan).

“Iya, Mba. Bisa nggo sangu sekolah ngesuk.” Jawab Agus kaget melihat saya duduk bersebelahan dengannya.

(Iya, Mba. Bisa buat bekal sekolah besok).

“Umahmu nang ndi? Deneng wis wengi urung bali? Digoleti rama biyungmu mengko lho. Klambine teles kabeh, mengko mriang.”

(Rumahmu dimana? Kok sudah malam begini belum pulang? Nanti dicari ayah sama ibu lho. Bajumu juga  basah semua, nanti sakit).

“Bapa lagi njaga parkir nang toko R, nek mama nang ngumah karo adine nyong. Anu lagi mriang adine, biasane sih melu inyong nang kene.”

(Ayah sedang jaga parkir di toko R, kalau ibu di rumah sama adik. Adik lagi sakit, biasanya sih ikut saya kesini).

Perbincangan kami yang cukup lama terhenti ketika Agus berpamitan pulang. Dengan berlari kecil ia menghampiri teman-teman yang juga berprofesi yang sama dengannya. Tawa mereka membuat saya malu atas limpahan rizki yang saya peroleh lebih dari mereka.

Mereka belum tahu apa itu rasa syukur, tapi mereka sudah menyiratkan itu semua dengan bergembira akan datangnya hujan. Dengan beberapa receh itu mereka bisa bertahan menanti hujan kembali menyapa mereka. Dengan beberapa receh itu mereka dapat menghapus air mata lapar mereka. Dan dengan receh itu mereka bisa membuat bumbung mereka terisi penuh.
Aku yang seperti ini tidak akan ada apa-apanya dibanding mereka. Bekerja dari pagi hingga petang tetapi tidak bisa memperoleh kepuasan seperti anak-anak hujan itu.

Ketika aku tertegun menatap mereka, kudengarkan dendangan nyanyian hujan. Nyanyian yang mengiringi langkah kaki mereka dengan sandal jepit lima sentimeter lebih panjang dari kaki mereka. Nyanyian yang mengiringi tarian tubuh mereka yang berbalut kaos butut hingga menutupi lutut mereka. Dan nyanyian yang mereka harapkan selalu mengiringi kehidupan masa depan mereka ketika hujan datang.

dia -anak hujan- tak kutahu nama (sebenar) nya

Hujan
Riuhnya yang kudengar membahagiakan
Berbagi nada atas nikmat Tuhan
Mendendangkan kisah kami para anak hujan
Hujan
Setiap tetesnya adalah nada kehidupan
Memadu merdukan nyanyian di atas awan
Membawa kebahagiaan untuk kami para anak hujan
Hujan
Janganlah terhenti hanya karena berganti musim
Tatkala semesta tak ingin kau ada
Tapi kami selalu merindukan, kami para anak hujan
Hujan
Jikalau Tuhan tak lagi mengijinkanmu datang
Isyaratkan bahwa kau akan datang dimusim mendatang
Kami membutuhkanmu, kami para anak hujan

14 pemikiran pada “Cerita Anak Hujan

  1. dari brebes ya mba lea?. biasanya yg bahasa jawanya pake “nyong” dari brebes.

    Ceritanya bagus bgt,,,jadi perenungan buat diri sndiri utk lebih bersyukur.

    purbalingga sayang….kalo dari brebes kurang lebih 3 jam
    makasih yah,utk perenungan bersama

  2. hihi… asyikk… asikkk… pembukaan katanya menarik, basa ngapak, hahaha… inget temenku deh…

    ahahahhaa,,,jd ada ide tulisanku pake bahasa ngapak semua nie *tuiinggg*
    salam buat teman mas tunsa yg ngapak juga yah 😉

  3. wah. . .
    Mbanya dari mana nih koq pke bhsa “inyong” dari bhsa yg di pake dapat di simpulkan bahwa c mbanya dari Tegal or Brebes. . . . .hehe

    Purbalingga mas

  4. jadi inget sama anak-anak dengan pekerjaan sama (menyewakan payung) di Ciater dulu…
    waktu pertama kalinya melihat mereka saya justru bingung
    kenapa mereka ini rela hujan-hujanan dan memayungi orang lain?
    hehehe…maklum, di Jogja kagak ada sih yang begitu 😀

    utk mencari sebutir permen mba 😉

  5. Padahal di satu sisi masih ada orang yang mengumpat saat hujan tiba ya.. Hmm sungguh berbahagialah anak kecil semacam Agus yang bisa mengerti makna sebuah anugerah Tuhan bernama hujan meski tanpa pernah dia sadari….

    karena anak2 kecil begitu polos

Tinggalkan Balasan ke 'Ne Batalkan balasan