Menjawab Sindiran Mereka (Fully Mom vs Bussy Mom -dan mereka yg mengamati-)

Setelah saya membaca artikel dari seorang ibu (saya lupa nama blognya) dengan berani pun saya menuliskan ini disini. Saya bukan mencari pembelaan atau pembenaran, saya hanya ingin menjawab beberapa sindiran atau pun dari mereka (pengamat status socmed) yang geram tentang topik akhir-akhir ini sedang hot dan menjadi trend di seantero sosial media.
Antara fully mommy dan bussy mommy. Ada yang salah? Sama sekali tidak. Keduanya tidak pernah salah. Mana mungkin menjadi seorang ibu dikatakan sebuah kesalahan? Itu tidak benar. Menjadi seorang ibu adalah hal yang sulit. Sangat sulit. Dibutuhkan energi ekstra berkali-kali lipat. Bayangkan, disaat semua orang terlelap seorang ibu harus terjaga. Disaat semua orang hiruk pikuk berdesakan mengantri tiket bioskop seorang ibu harus menemani anaknya. Dan masih banyak kegilaan yang harus dilakukan seorang ibu agar anaknya 100 persen aman dan bahagia.
Pada mulanya, awal saya menjadi seorang ibu, saya galau antara resign atau stay at home. Saya tuliskan lewat media sosial. Disanalah muncul beberapa komentar dari teman maya maupun nyata saya. Berbagai pendapat mereka kemukakan. Tidak dalam sepatah kata, namun juga dengan kalimat panjang lebar berikut reasonnya. Banyak juga yang komentar dengan membawa dalil agama. Saya hargai pendapat mereka semua. Namun waktu berjalan begitu cepat. Kebutuhan kami tidak sedikit. Kebutuhan anak kami dan kebutuhan rumah tangga kami. Tidak perlu saya ceritakan seberapa banyak kebutuhan kami, karena saya tahu kalian pasti akan tetap menganggap saya melakukan pembenaran dan merasa paling hebat. Dengan pertimbangan yang matang, support suami dan keluarga, serta curhat pada Sang Penguasa Hati akhirnya saya putuskan untuk still work.
Suatu saat saya melihat status teman maya saya. Awalnya saya tidak ambil pusing. Lama-lama setiap kali saya update status tentang kerjaan saya di kantor dia selalu balas dengan statusnya yang menceritakan betapa hebatnya dia sebagai fully mommy dan tak jarang pula menyindir para ibu pekerja. Karena saya bukan semut yang diam ketika diinjak, maka saya pun membalas statusnya. Disana saya hanya bilang “setiap orang memiliki jalan rizki yang berbeda, mungkin saya memang harus ditakdirkan bekerja membantu suami.” Tetap saja ini merupakan suatu kesalahan besar saya dimata dia. Lalu para pengamat socmed yang mungkin melihat status kami merasa kami sedang berperang. Saya sih biasa saja, sekali lagi karena saya adalah bukan semut yang diam saja ketika diinjak. Dan demi Alloh tidak secuilpun perasaan saya ingin mendapat pembelaan atau pembenaran bahkan dilihat paling hebat di mata siapapun, tidak.
Saya hanya mengungkapkan bahwa rejeki orang berbeda. Bahkan sebenarnya saya iri dengan mereka yang 24 jam nonstop menemani putra putri mereka. Tapi keadaan berkata lain. Saya harus membeli susu formula untuk anak saya, dan memang saya terang-terangan saya tidak full ASI. Karena saya bekerja? Bukan itu masalahnya. Karena ada satu dan lain hal sehingga payudara saya tidak menghasilkan ASI lagi. Please, don’t judge me again. Saya pun sedih ketika saya makan dengan sangat rakus namun anak saya tidak bisa menikmatinya lewat ASI saya. Ini pum dilihat sebagai suatu kesalahan besar saya dan bahkan melihatnya sebagai aib. Saya betul-betul dihinakan karena ini semua. Lalu, apakah saya salah mengemukakan pendapat dan reason saya? Iya salah. Karena saya selalu salah di mata mereka. Adalah hal yang sulit ketika kita selalu dihadapkan oleh dua pilihan. Namun jika kita memilih satu hal bukan berarti hal yang lain itu buruk. Bukankan kita akan sulit jika berjalan menggunakan dua kaki sekaligus?
Itulah hidup. Terkadang banyak orang yang merasa hebat, ada pula yang merasa paling menderita. Saya tidak suka dikasihani, saya pun tidak ingin dianggap hebat. Marilah untuk terus membuka mata. Bahwa setiap hal dilakukan pasti ada sebabnya. Sejauh itu masih bisa seimbang, sejauh itu masih di jalan yang benar.
Insyaalloh, saya akan terus berusaha untuk menjadi ibu sekaligus istri yang baik. Dan saya pun terus ingin mendedikasikan disiplin ilmu yang sudah saya peroleh. Semoga semua dapat berjalan beriringan. Dan semoga semua ibu bahagia bersama anak-anak mereka, baik ibu rumah tangga bahkan ibu pekerja.
image

Salam hangat,
L.A

17 pemikiran pada “Menjawab Sindiran Mereka (Fully Mom vs Bussy Mom -dan mereka yg mengamati-)

  1. Berhubung jarang banget buka facebook jadi nggak update hehe..
    tapi membaca tulisanmu ini aku juga inget diriku sendiri Lea, sama2 dilematis. ibu mana yang tidak ingin full mengurus anaknya di rumah, aku yakin tidak ada. Semuanya ingin full untuk keluarga dan anaknya. Tapi sepakat sama kamu, terkadang ada hal-hal yang harus kita pilih meski sulit karena realitas. Aku juga karyawan dan dalam keadaan hamil pula, masih galau antara nanti kalau sudah lahiran mau resign atau mau lanjut. Pasti akan ada pertimbangan buat aku, tidak semudah itu resign dari kerjaan. Beruntung banget memang untuk mereka yang mungkin bisa full jadi ibu dan mengurus keluarganya di rumah. aku juga pengen kayak gitu, tapi sekali lagi ada hal-hal yang menjadi pertimbangan, ya kan?

    Tetap berusaha saja yang terbaik 🙂

    • Selamat dulu ah kalo gitu, brp bln Mbak Ne? Sehat2 ya… Semoga lancar sampai persalinan, ibu dan adeknya sehat2. Aamiin…
      Yg terpenting adl komitmen tanpa mengeluh, krn suatu saat apapun usaha kita akan ada hasilnya.

  2. Ibu yang bekerja bagiku ada 2 jenis, yang terpaksa bekerja dan yang gila kerja. Untuk yang gila kerja, mentingin karir dan menelantarkan anak, aku kurang setuju. Namun, untuk yang terpaksa karena memang butuh, bagiku sah2 saja.. Aku belum nikah, belum punya anak, tapi pengennya kalau punya anak bs jd ibu rumah tangga, dan pas anak sudah bisa ditinggal aku tetap bekerja tp gak full time, karena menurutku perempuan harus tetap punya skill karena kita gak tau apa yang akan terjadi di masa depan..

      • Amiin.. Yg jd godaan skrg adalah ortu nyuruh aku daftar PNS.. klo kerja kantoran kan jdnya terikat.. Tp ttp akan coba daftar sih, cuma doanyaaa kebalikannya, hehehe.. ✌

      • Hehehheeee… Berusaha yg terbaik utk diri sendiri dulu dan orang tua, selanjutnya biarkan Tuhan yg menjawab. Jadi ingat, ada seorang wanita tangguh single parent mengatakan sesuatu pd saya. Jangan mengandalkan sumur hanya dr satu sumber, jika kering mana ada waktu lagi utk menggali yg lain.
        Tdk salah menjadi seperti apapun seorang ibu, asal dia baik, asal dia adil, dan semua berjalan beriringan. Krn tdk ada yg pernah tahu kemana roda akan berjalan 🙂

      • Hahaha.. Betul banget, walau kadang-kadang yg kering gak cuma satu sumur, hehe.. Tapi hrs ttp yakin juga, selagi masih dikasih napas, berarti rejekinya jg belum akan terputus.. 😀

  3. 🙂
    Apa kabar mbak Lea? Saya jarang mampir ke sini nih.
    Saya belum jadi ibu sih, tapi seneng aja baca tulisan yang seperti ini. Kelak, ketika jadi ibu pun saya tetap ingin bekerja, tak hanya jadi ibu rumah tangga.
    Bukan masalah terpaksa atau gila kerjanya sih, tapi berkaca dengan kondisi keluarga orang tua saya. Saya pikir, selama dapat ridho dari suami, istri bekerja pun bukan masalah, apalagi di zaman sekarang…

    • Alhamdulillah baik mbak Puji 🙂 saya jarang eksis sekarang. Maklum, wajah anak mengalihkan dunia perblogan *halah
      Insyaalloh, rizki tdk akan tertukar. Jika kita sudah berikhtiar dan ikhtisar tapi Tuhan menghendaki kita tetap di rumah mengurus anak dan suami, kita harus ikhlas. Tapi jika Ia berkehendak kita membantu suami, kita pun hrs ikhlas. Yg penting ttp istiqomah, khusnudzon, dan seimbang.
      Semangat mommy wanna be 🙂

  4. semangat mbak saya bs merasaknya mbak krena sya new mom yang bentr lagi pas habis cuti juga bakalan balik kerja… dilema sih tapi hidup itu pilihan, setiap pilihan pasti ada baik buruknya… fully mommy yang bisa mendidik dan merwat anaknya dg baik udh biasa mbak..tp kalo ada busy mommy yg bsa jgain dan mrwt anaknya dg baik itu baru luar biasa…mari mbak kita berusaha untuk itu. 🙂

Just comment, and I will comment you back...