Cemburu

“Itu bukan cemburu! Itu egois namanya, memaksakan kehendak, dan negative thinking!” Andi berteriak kesal, sementara Nina masih terisak pekat yang mencekik lehernya.

Cemburu, bisa diartika kata kerja bisa diartikan pula sebagai kata sifat. Cemburu luas maknanya. Cemburu bisa berarti iri. Cemburu bisa berarti egois. Cemburu bisa berarti marah. Cemburu bisa berarti sayang. Atau juga cemburu bisa berarti tidak peduli. Semua sah-sah saja diartikan sebagai cemburu, hanya saja yang membedakan adalah kadarnya.

Ketika kita berharap ingin mempunyai mobil baru tapi ternyata wajah manyun kita terlukis seketika tetangga memenangkan undian mobil, itu cemburu yang berarti iri. Cemburu pada Tuhan (bisa diartikan seperti itu pula). Ketika kita marah-marah tanpa sebab dan melarang pacar/ suami/ istri kita bergaul dengan banyak teman yang berlawan jenis, itu cemburu yang berarti egois. Ketika kita sedang berkencan dengan pasangan kita dan tiba-tiba ia cemberut mendapati mata kita terlalu lama menatap sesosok manusia (yang menurutnya indah), itu cemburu yang berarti marah. Ketika kita mendapati pasangan kita menasehati agar kita tidak terlalu dekat dengan rekan kerja/ bos yang terlalu agresif pada kita, itu cemburu yang berarti sayang. Atau ketika kita melakukan hal-hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip pasangan kita sementara jika ia bertemu dengan kita selalu dengan muka yang masam dan tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, itu cemburu yang berarti tidak peduli. Kadar cemburu relatif, tergantung bagaimana kita dan pasangan kita memandang seperti apa cemburu yang seharusnya dan cemburu yang tidak sepantasnya. Terkadang cemburu sangat diperlukan, tapi jika ia terlalu banyak maka hubungan kita menjadi terlalu asin.

*Sampai sekarang saya belum menemukan resep untuk tidak cemburuan :mrgreen:

Setengah Okonomiyaki (itu)…

Disudut kedai tepat pada meja nomor tiga kami terdiam satu sama lain. Pandangan kami melekat ke arah yang berlawanan. Tak sepatah katapun terucap dari bibirku ataupun bibirnya. Dan sudah hampir tiga puluh menit kami seperti itu sebelum akhirnya waitress mengantarkan menu pesanan kami. Masih dengan terdiam, kami lalu segera menyantap menu kami. Mie ramen adalah kesukaannya, sedangkan aku cukup dengan sepiring okonomiyaki dan segelas smoothie lemon.

Menyantap okonomiyaki tak lantas membuatku kenyang. Jauh sebelum makanan khas negeri matahari terbit itu memenuhi meja kami, aku sudah merasa selera makanku lenyap begitu saja. Namun kupaksakan sedikit demi sedikit memasukkannya kedalam mulutku. Ingin rasanya aku berteriak, tak sepatah kata lembut pun terucap dari bibirnya. Aku merajuk tak lantas ia bujuk. Atau mungkin memang aku pengacau yang sebenarnya.

Baca lebih lanjut