Letak Lekat

Yang jauh membumi adalah mencintai tanpa hakiki. Aku yang tak punya nyali hanya berani berdiam diri. Memandang semua hanya sebatas ilusi. Aku yang tak pandai mengarti.

Aku pun tak pandai menyiasati. Aku ingat beberapa tempat yang kudatangi menjadi sepi, itu karena kau tak ada di sisi. Apa aku harus seperti dulu? Kembali mencari jati diri yang tak kunjung membaik malah justru menjadi naif? Berjalan tanpa menepi. Kutahu kau tak akan kembali. Tangan terbuka, hati memerah, mata sembab sayu, dan terkadang menatap jauh ke langit. Entah sampai sebatas berapa inchi.

Kata mereka kau kalah, kata mereka kau lelah. Tak tahu mereka kaulah pemenang sebenarnya. Ribuan nyanyian kau suarakan dengan syahdu. Belasan jarak yang kau rambah selalu terlempar senyummu. Kau tak kalah, kau hanya pasrah. Aku ingat dataran tinggi yang kau daki. Begitu terjal dan kadang kau terjatuh luluh ke bawah. Tapi kau tak berhenti mendaki. Sepasang kakimu hartamu yang berharga, itu yang kau katakan. Lalu apa yang kau takutkan? Tak ada. Kau tak takut jurang, kau tak takut dingin, kau tak takut panas, kau tak takut terjatuh, kau tak takut apa-apa. Lalu mereka terus bersikeras, padahal kau tak memelas.

Sepanjang usia tak habis aku ceritakan tentang kau. Kau yang berbicara tentang cinta dari langit, kau yang bernyanyi dengan hati, kau yang tak pernah mati.

Mari kutunjukkan tempat yang abadi, katamu. Sekejap kau berubah kaku, mendingin, dan diam. Itukah yang kau tunjukkan? Itukah yang kau maksud tempat abadi? Letak yang melekat dengan dirimu, yang tak bisa kita singgahi bersama. Nyatanya kau hanya ingin melekatkan letak itu sendiri. Mengkhususkan hanya untuk mereka yang siap, seperti katamu. Dan cinta yang hakiki yang tetap kutahu bukan cinta yang membumi, justru cinta yang tak pernah ditunjukkan seperti langit yang akan mengangkatmu pergi.

Siluet Senja

Senja di ujung barat memang selalu dinanti. Ketika tubuhku bergetar karena diaduk mesin roda dua yang aku kendarai, sering dengan bibir terkembang aku menikmati siluet yang akhir-akhir ini jarang terpampang dihamparan lantai rumah Tuhan. Pada selurus pandang ladang yang berlumpur, entah dimana ujungnya, yang pasti ada segaris jingga menemani Sang Surya tenggelam diperaduan. Sungguh perkawinan yang indah. Biru, merah, jingga, dan sedikit kelabu adalah perpaduan warna membentuk blok-blok cahaya dan berubah menjadi siluet senja yang perlahan menghilang.

Aku masih dengan roda duaku. Berlalu mengikuti senja itu beradu. Bagai sepasang kekasih dimabuk asmara, senja itu tak akan terganti keindahannya. Ada perasaan aneh yang menyeruak sampai ubun-ubunku, bumiku yang menua, masih ada sisi megah nan indah yang berhak aku nikmati. Ya, bumiku yang menua, semoga saja masih terus begini hingga nanti jika keturunan ke tujuhku hadir dan sampai seterusnya. Manjakan mereka seperti kalian memanjakanku pada senja sekarang, tak kurang dan tak lebih.

Sekelumit doa saat senja untuk generasiku nanti