Senja di ujung barat memang selalu dinanti. Ketika tubuhku bergetar karena diaduk mesin roda dua yang aku kendarai, sering dengan bibir terkembang aku menikmati siluet yang akhir-akhir ini jarang terpampang dihamparan lantai rumah Tuhan. Pada selurus pandang ladang yang berlumpur, entah dimana ujungnya, yang pasti ada segaris jingga menemani Sang Surya tenggelam diperaduan. Sungguh perkawinan yang indah. Biru, merah, jingga, dan sedikit kelabu adalah perpaduan warna membentuk blok-blok cahaya dan berubah menjadi siluet senja yang perlahan menghilang.
Aku masih dengan roda duaku. Berlalu mengikuti senja itu beradu. Bagai sepasang kekasih dimabuk asmara, senja itu tak akan terganti keindahannya. Ada perasaan aneh yang menyeruak sampai ubun-ubunku, bumiku yang menua, masih ada sisi megah nan indah yang berhak aku nikmati. Ya, bumiku yang menua, semoga saja masih terus begini hingga nanti jika keturunan ke tujuhku hadir dan sampai seterusnya. Manjakan mereka seperti kalian memanjakanku pada senja sekarang, tak kurang dan tak lebih.
Sekelumit doa saat senja untuk generasiku nanti