Purnama Senja

Antara sore dan petang
Tertanam indah di cakrawala
Bukan senja yang menggading
Atau surya yang menguning

Aku melihat mata senja
Pada ujung timur yang menganga
Kulihat lengkungnya sempurna
Indah

Senjaku tak memadu
Mungkin ia sedang sendu
Atau dirundung pilu
Tidak merona pun terlihat kelabu

Aku melihat mata senja
Pada ujung timur yang menganga
Ia jingga
Dan melengkung sempurna

Purnama senja
Melengkung sempurna pada horizon antara sore dan petang
Melabuhkan ke peraduan
Biarpun senja tak datang

Siluet Senja

Senja di ujung barat memang selalu dinanti. Ketika tubuhku bergetar karena diaduk mesin roda dua yang aku kendarai, sering dengan bibir terkembang aku menikmati siluet yang akhir-akhir ini jarang terpampang dihamparan lantai rumah Tuhan. Pada selurus pandang ladang yang berlumpur, entah dimana ujungnya, yang pasti ada segaris jingga menemani Sang Surya tenggelam diperaduan. Sungguh perkawinan yang indah. Biru, merah, jingga, dan sedikit kelabu adalah perpaduan warna membentuk blok-blok cahaya dan berubah menjadi siluet senja yang perlahan menghilang.

Aku masih dengan roda duaku. Berlalu mengikuti senja itu beradu. Bagai sepasang kekasih dimabuk asmara, senja itu tak akan terganti keindahannya. Ada perasaan aneh yang menyeruak sampai ubun-ubunku, bumiku yang menua, masih ada sisi megah nan indah yang berhak aku nikmati. Ya, bumiku yang menua, semoga saja masih terus begini hingga nanti jika keturunan ke tujuhku hadir dan sampai seterusnya. Manjakan mereka seperti kalian memanjakanku pada senja sekarang, tak kurang dan tak lebih.

Sekelumit doa saat senja untuk generasiku nanti

Kembara Hati

Senja masih temaram, langit bermega indah. Kulihat sepasang burung gereja berkicau memadu kasih. Bertengger berjejer pada ujung atap rumah reot. Begitulah mereka yang kulihat, terpagut satu sama lain seakan mencurahkan gairah cinta yang tak lagi bisa terbendung. Masih dengan saling memandang. Tak berani untuk memulai bercinta. Ah, mereka menggelitik senyumku.

Baca lebih lanjut