Memotret Gelap

Jangan samakan gelap yang Tuhan ciptakan dengan gelap ketika kau menutup matamu dengan kedua telapak tanganmu sendiri.

Aku terbangun dari lelah yang panjang. Memandang sekelilingku dengan rasa hampa. Gelap. Lalu aku menangis, tercekik, dan tidak dapat bernafas.

“Tenangkan hatimu, Nak.”

“Ibu?”

Ah, rasanya sudah sekian lama aku mencoba beradaptasi dengan gelap. Waktu yang berputar bagaikan roda mobil balap yang siap menuju garis finish. Aku tak bisa mengendalikannya, seolah ia berlari tanpa kendali. Ya, memang begitulah waktu. Berputar tanpa kendali. Yang bisa mendatangkan penyesalan ataupun kebahagiaan.

“Bu, apa gelap itu indah?”

“Semua yang diciptakan Tuhan selalu indah. Cahaya, gelap, mereka diciptakan dengan tugas masing-masing.”

“Lalu apa yang bisa kita lihat dari gelap?”

“Rabalah hatimu sendiri, Nak. Kau tidak akan dapat melihat apa-apa dalam gelap dengan dua bola matamu yang indah. Tapi kau akan merasakan sesuatu yang menjalar di hatimu.”

“Sekalipun ketakutan, Bu?”

“Ya! Sekalipun ketakutan, Nak. Kau bisa bayangkan mengapa Tuhan menciptakan duri yang tajam pada mawar yang indah?”

“Agar tidak sembarang kumbang meraih madunya.”

“Begitulah kegelapan dan ketakutan yang diciptakan. Kau akan berjalan dengan hati-hati tatkala gelap. Dan kau akan belajar melihat sesuatu dari hatimu, bukan hanya dari mata indahmu saja.”

“Jadi, gelap itu apa Bu?”

“Anakku sayang, gelap adalah bagian dari diri kita yang tertutup. Tidak ada manusia yang sempurna. Sebagian dari kita adalah penuh dosa dan serasa penuh kegelapan. Namun tidak hidup jika tak belajar. Ketika kau melihat hamparan hampa, jangan tutup matamu. Itu akan semakin membuatmu terjerembab. Yakinlah, di ujung jalan sana akan kau temui pintu dengan cahaya yang sangat indah.”

“Seperti pintu yang ibu temui sekarang?”

“Iya, Nak. Jika kau masih terus menyayangi ibu, sedikit lagi ibu akan bisa membuka pintu itu dan memasukinya.”

“I wish you can go there, Mom. I promise to always pray for you.”

“Tersenyumlah, Nak. Kelak kau harus menceritakan bagaimana memotret gelap pada anak cucumu. And we will meet here later.”

*On same Tuesday, 19/03/07-19/03/13. And this day is a day when she was born and gone.

lenadaku

Kursi Merah

Kursi merah di pojokkan, favoritmu berjelaga

Kursi merah di pojokkan, tempatmu menganyam kenangan

Kursi merah di pojokkan, sandaranmu menggundah

Tapi kini…

Kursi merah di pojokkan, sepi sedari tadi

Kursi merah di pojokkan, melamun sendiri

Kursi merah di pojokkan, tinggal kenangan yang terisi

Untuk ibu yang selalu menyukai kesendirian di kursi pojok ruangan

gambar pinjam dari sini

gambar pinjam dari sini

Maaf

Mentari tahun ini ceria

Dari balik putihnya awan ada senyuman manis

Pada tiupan semilir angin ada belaian lembut

Pada rumput hijau yang tumbuh ada wewangian yang khas

Dan diantara itu semua ada pembaringan yang usang

Pada setiap sudutnya yang retak dan terkikis

Pada balok pualam yang menempel

Tertulis nama bukan sembarang nama

Pada hati yang tulus yang ingin selalu bersimpuh di depannya

Setiap air mata yang menetes pada nisannya

Dan yang selalu ingin kuucapkan

Maaf…

*Dedicated for my mom, I’m sorry I haven’t been able to make beautiful your grave. Miss you so badly

Lost in March (19.03.1961-20.03.2007)

https://lenadaku.wordpress.comLihat senyumnya nan menawan

Lihat semburat kebahagiaan nan penuh harapan

Lihat pancaran cahaya nan penuh keelokan

Tak sempat aku memanggilmu

Betapa aku menginginkanmu bangga

Membuat kau membusungkan dada

Dan berkata, dialah anakku

Yang akan terharu melihat perjuanganku

Yang akan mengecup setiap jengkal lelahku

Yang akan merasakan manisnya maduku

Ibu…

Baca lebih lanjut