Kuasa Hati

Kakiku berlari jauh, menyongsong rindu akan kebebasan. Meskipun aku lelah, namun aku tak lantas terkapar dan menyerah. Karena cinta. Ya, kebebasan yang aku rindukan adalah kesetiaan cintanya tanpa kekangan. Ketika aku mencari jati diriku, ia membiarkanku pergi, mencari apa yang harus aku cari. Dan ketika aku kembali, ia masih kokoh berdiri menatapku, masih dengan senyum yang sama ketika membiarkanku pergi. Tangannya terbuka lebar, meraih pundakku, dan mengajakku berdansa.

“Sudah kau temukan?” bisiknya lirih.

“Entahlah. Mungkin jawabanku bisa ‘sudah’, mungkin bisa juga ‘belum’.”

Lalu ia mendekapku erat. Seperti tak ingin membiarkanku pergi pun tak ingin menyakitiku dengan kekangannya.

“Lalu, apa yang kau lakukan selama aku mengembara?” bisikku ganti.

“Cinta.”

“Sudah kau dapatkan?”

“Entahlah. Mungkin jawabanku bisa ‘sudah’, mungkin bisa juga ‘belum’.”

Seketika hatiku merah memanas. Ada api yang membakar di dalam sana. Membuat nafasku panas, seakan aku ingin berlari jauh karena uapnya. Aku memandangnya lekat, kali ini dengan marah. Ketika kudapati sudut matanya yang mengembun, aku tahu ia akan segera menangis. Benar saja, embun itu berubah menjadi tetesan bening. Tidak menderu, tapi menetes tenang melewati lekuk hidungnya yang menyembul, lalu jatuh di pipi bawahnya yang cekung.

“Kau menangis?” tanyaku.

“Tidak. Ini bukan air mata. Ini adalah wujud ketulusanku yang menginginkan cintaku bersemayam tetap di hati. Mendekap erat laraku, menutupnya dengan senyuman, dan tidak akan membiarkan air mata menetes. Ia hanya akan mengalirkan ketulusan. Karena sebenarnya bukan yang lain yang ia cari dalam pengembaraan, melainkan ketulusan yang hanya perlu digali dari sisi lain hatinya.”

Aku melemah, dan aku menangis. Tidakkah ia yang membiarkanku pergi dan tak ingin aku pergi pun begitu menginginkanku menempati singgasana yang sudah Tuhan kodratkan bernama pasangan? Dan aku, begitukah aku terlalu haus mengembara, mencari apa yang tak perlu dicari, malah aku mendapatiku dicaci oleh rasa penyelasanku?

Mataku terbuka lebar, kali ini ada rasa tenang hatiku. Lebih tenang hingga kakiku tak ingin bergerak dari sana. Justru jika aku gerakkan kakiku sepersekian mili dari tanah kuberpijak, hatiku yang bergetar. Justru rasa takut kehilangan yang aku miliki sekarang. Justru jiwa pengembaraku yang entah kemana meninggalkanku bersama bongkahan rasa yang tak kunjung hilang dan pergi. Ia kunamai, cinta.

Terima kasih banyak, kamu. Yang dulu bukan apa-apa dan siapa-siapa, sekarang kau lebih bertahta dan berharga dibanding raja-raja di negeri lain. Singgasanamu sudah kubuat sedemikian rupa, tidak mengekang pun tak membuyar. Terima kasih, kamu. Dengamu aku belajar kesetiaan dan kesabaran. Bersamamu aku tak pernah lupa, jika mencintai adalah sebuah ketulusan. Dimana kata maaf dan terima kasih tak perlu kita ungkapkan setiap saat, karena di dalam ketulusan itu sudah ada mereka di sana. Terima kasih, kamu. Yang mendekap erat hatiku, membiarkan aku berlari, tapi menantiku di ujung lelahku. Terima kasih, suamiku. Kau menguasai hatiku.

Kembara Hati

Senja masih temaram, langit bermega indah. Kulihat sepasang burung gereja berkicau memadu kasih. Bertengger berjejer pada ujung atap rumah reot. Begitulah mereka yang kulihat, terpagut satu sama lain seakan mencurahkan gairah cinta yang tak lagi bisa terbendung. Masih dengan saling memandang. Tak berani untuk memulai bercinta. Ah, mereka menggelitik senyumku.

Baca lebih lanjut