Apa (Sebuah Tanda Tanya dan Berjuta Tanda Seru)

“Semoga aku tak akan pernah lelah menerima dan menghadapi semua ujianMu.”
Itulah doa andalanku sesaat setelah sujud dan salam tahyat terakhir. Rupanya aku terlalu besar rasa, terlalu percaya diri bahwa aku pasti mampu menghadapi ujian yang Tuhan berikan. Nyatanya aku tidak dan tak pernah mampu. Aku terlalu sombong pada Ia Yang Maha Pemurah. Aku tak lebih dari makhluk kerdil dan bungkuk yang mencoba berjalan tegap tanpa tongkat. Aku salah, nyatanya aku terjatuh dan selalu. Aku coba berdiri dan melangkah lagi, namun tetap saja terjatuh dengan luka tempo hari yang kian membusuk. Belum reda darah mengalir, masih saja kutimbulkan luka pada kulit yang lain.
Aku bersimpuh di antara rerumputan yang basah. Aku berteriak memanggil Ia Maha Pembolak-balik segalanya. Aku menaruh harap agar dileburkan semua dosaku bersama air hujan yang mengeruh.
Jika aku tak pernah sombong, seberat inikah ujian demi ujian yang harus aku terima? Aku tahu, bahwa Tuhan tidak akan pernah membebani cobaan di luar batas kemampuan umatNya. Tapi, inikah jalanku untuk mencapai puncak tertinggi yang sudah Tuhan janjikan?
Dengan sebatas kata “Apa” diikuti satu tanda tanya dan berjuta tanda seru, aku pun tak tahu itu berupa pertanyaan atau seruan. Dan aku belum menemukan jawabannya.

Berdoa (?)

Hari berjalan dari celah-celah panas sinar Sang Surya
Ia tersengat terik yang tak henti menjilat kulit bajanya
Peluhnya menetes perlahan di setiap ranah yang ia pijak
Bahkan hampir berubah menjadi hulu
Sebelum akhirnya membanjir, Hari berkedip
Dalam sekejap ia menghilang dan bertaut entah di negeri mana
Ia hanya menemukan cermin jingga, perlahan memudar, dan gelap

Hari masih terus berjalan
Kali ini kakinya berpijak pada pelataran malam yang pekat
Kulit bajanya berkerut, dingin
Ia tampik rasa dingin itu, tapi gagal
Ia mencoba mengais tanah yang menyisakan hangat dari negeri seberang
Ia mencium segala bentuk kehangatan
Ia kembali gagal

Hari tidak terpejam, ia masih terjaga
Matanya kembali berkedip, dan lagi-lagi ia bertaut entah di negeri mana
Kulit bajanya kembali mengilap, terpantul Sang Surya
Hari mengerti, ia kembali pada negeri yang terik
Ia tidak membodoh, Hari berpikir: hening

Hari bereksperimen, matanya menghadap langit
Dilambaikan tangannya ke atas, seolah ingin meranggah sesuatu
Tangannya hanya menggapai hampa
Terik Sang Surya kembali memeras peluhnya,
kali ini dipastikan akan membuat hulu membanjir

Mata Hari perih, tertetesi peluh
Ia berkedip, sama: kembali bertaut entah di negeri mana
Cermin jingga yang memudar dan gelap
Dan begitu seterusnya jika Hari berkedip

Kali ini Hari berhenti berjalan, mata Hari perih, bukan karena peluh
Hari menangis dan bersimpuh
Tangannya kemudian menengadah
Ia pernah mendengar bahwa Siapa yang menciptakan ia,
menjadikan ia lelah kemudian menangis,
menjadikan ia limbung kemudian terhukum
Ia terbata menyebut namaNya
Hari berucap, mulutnya bergerak seperti meminta sesuatu
Hari tidak bisa berdoa, ia hanya bisa meminta pada Siapa yang menciptakan ia
Lalu kulit bajanya seperti ditempa pandai besi yang geram, pecah dan hancur berkeping-keping
Hari tak mati, tapi ia terbelalak
Kulit bajanya menyembunyikan sesuatu
Bongkahan berwarna merah muda keluar dari sisa kepingan kulit baja
Ronanya mengilap, wangi
Perlahan hari mengerti, bahwa yang ia minta adalah sebuah keharusan
Ia tahu harus meminta pada Siapa
Hari tak bisa berdoa, tapi ia tahu kepada Siapa ia harus meminta

Keajaiban (itu) Bernama Cinta

rusukSaat ini tanganku tak mampu melukiskannya, mulutku tak mampu menceritakannya, dan hatiku… Hatiku telah memerah, memadat, menopang semua perasaan yang beraduk menjadi satu: bahagia, terharu, bingung, khawatir, dan segala yang menyerupa luapan perasaan.
Jika aku berkata biasa saja, mungkin aku bohong. Tangan kananku tak pelak ingin menjamah wajahmu, dan tangan kiriku ingin sekali merengkuhmu. Namun saat ini hatilah yang akan memaparkan segala apa yang ada, yang kurasakan, dan menamengkan yang belum menjadi hakku. Baca lebih lanjut